MINIMNYA PENDIDIKAN MASYARAKAT DESA
a.
Latar
Belakang
Daerah pedesaan merupakan tempat
yang asri dan penuh dengan rasa toleransi yang tinggi diantara penduduknya.
menurut Paul H. Landis desa adalah pemukiman yang penduduknya kurang dari 2.500
jiwa. Dalam kesehariannya masayarakat desa sangat memegang erat rasa
kekeluargaan, dan jiwa gotong royong. Adanya kondisi seperti itu menjadikan
penduduk merasa kehidupan pedesaan penuh dengan kedamaian, tenggang rasa yang
sangat tinggi.
Padahal pada kenyataannya, potensi
masalah pasti ada di keadaan desa yang dinamis pun. Menurut Rogers (1969) salah
satu ciri masyarakat desa adalah Lack of
innovation, yaitu adanya rasa enggan untuk menerima atau menciptakan
ide-ide baru. Hal ini biasanya disebabkan karena kurangnya keterbukaan terhadap
pengetahuan baru dan kurangnya kesadaran terhadap pentingnya pendidikan.
Sebagian besar masyarakat desa lebih mengutamakan keterampilan bekerja daripada
kemampuan intelektual, sehingga jarang dari penduduk desa yang merasa perlu
mengenyam pendidikan.
Masalah kurangnya kesadaran akan
pentingnya pendidikan dikalangan masyarakat desa tidak bisa dianggap sebagai
hal yang sepele, karena hal itu secara tidak langsung dapat menghambat
perkembangan dan kemajuan desa. Rendahnya tingkat pendidikan di desa sebenarnya
tidak hanya disebabkan oleh faktor internal dari masyarakat desa itu sendiri
melainkan juga merupakan bentuk kurangnya dukungan dari pemerintah bersangkutan
itu sendiri, hal ini terlihat dari ketidaklayakan sarana dan prasaranan
pendidikan yang ada di daerah pedesaan.
Seperti halnya bangunan sekolah
disuatu desa yang hanya beratapkan daun rumbia dan tanpa sarana meja dan kursi
sehingga para siswa terpaksa harus belajar sambil bertiarap dan berdesakan juga
kondisi beberapa materialnya sudah lapuk, dan juga masalah besar penyebab rendahnya
pendidikan adalah susahnya akses jalan yang menyebabkan siswa harus berjalan
berkilo-kilo dan mempertaruhkan nyawa dengan melintasi sungai hanya menggunakan
seutas kawat baja untuk mencapai sekolah. Oleh karena itu masalah pendidikan di
daerah pedesaan menarik untuk dibahas.
b.
Pembahasan
Pendidikan yang ideal menurut Badan
Standar Nasional Pendidikan adalah harus memiliki sarana prabot, pralatan
pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya. Namun dalam
keadaan real dimasyarakat pedesaan,
hal ini masih belum bisa dicapai tanpa diketahui sebab pastinya, padahal
pemerintah telah menganggarkan sekurang-kurangnya 20% dari APBD dan APBN untuk
keperluan atau kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Seharusnya
Pemerintah bersangkutan lebih berperan aktif dalam penyelenggaran pendidikan di
setiap wilayah di suatu negara, bukan hanya pada daerah kota-kota besar saja
namun juga aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di wilayah pedesaan.
Daerah pedesaan sebenarnya memiliki potensi sumber daya yang
besar untuk dieksplor, namun karena
kurangnya kesadaran akan pentingnya
pendidikan, maka perkembangan pendidikan akan terhambat, hal ini benar-benar
terjadi disekitar kita contohnya terjadi di Desa Kambang Kuning, Haruai,
Tabalong. Mereka menjalankan kegiatan belajar di bekas ruangan WC selama kurang
lebih 4 tahun terakhir ini. Kondisi itu sangatlah ironis karena terjadi di
Sekolah yang lokasinya hanya sekitar 25 kilometer dari Ibu Kota Tabalong
Tanjung.
Apalagi,
Tabalong adalah salah satu kabupaten yang kaya sumber daya alam (SDA) dan hasil
perkebunan. Banyak perusahaan dari skala lokal, nasional hingga internasional
yang mengais rezeki di kabupaten tersebut. Tetapi seperti itulah yang terjadi
di SDN 2, Desa Kembang Kuning, Haruai. Jika sepintas dilihat dari luar,
bangunan sekolah yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat kecamatan
tersebut masih bagus karena terbuat dari beton dengan cat yang belum kusam.
Akan tetapi sudah bertahun-tahun proses belajar mengajar di sekolah tersebut
juga menggunakan ruangan yang semula digunakan untuk Toilet atau WC rumah dinas
guru sebagai ruang kelas. Hal itu tepaksa diakukan karena usulan untuk menambah
ruang yang diajukan pengelola sekolah, belum juga ada tindak lanjutnya. Saat
ini, sekolah tersebut memiliki 232 murid. Sementara ruang kelas hanya enam unit
plus satu ruang untuk para guru. Kebutuhan ruang kelas bagi murid-murid dari
kelas I sampai IV sebanyak delapan unit. Perinncian-nya, kelas I, IV, dan VI
masing-masing satu ruang serta kelas II dan III masing-masing dua ruang. Karena
ruang yang tersedia hanya enam unit, maka dua ruang lain yang digunakan untuk
proses belajar mengajar murid kelas IIB dan IIIB menggunakan dua rumah dinas
guru yang berberntuk kopel.
Sementara
ruang kelas WC digunakan untuk pelajaran
agama secara bergiliran bagi semua kelas. Diperkirakan ukuran ruang kelas bekas
WC itu adalah empat kalin tiga meter. Sementara ruang dri rumah dinas,
masing-masing berukuran 4X6 meter. Berdasarkan pantauan, jumlah murid yang
berkelas dirumah dinas hanya 18 orang. Antara meja guru dan murid tidak
berjarak. Itu pun banyak yang dalam kondisi rusak. Kaca jendela juga ada yang
pecah parahnya lagi, bila hujan turun lebat, lantai yang tidak berkeramik akan
terendam air.
Sekolah
Dasar Negeri (SDN) SDN 2 Kembang Kuning, Tabalong yang menjadikan bekas ruang
toilet dan rumah dinas memperlihatkan bahwa pemerintah daerah (pemda) setempat
lupa. Sekolah yang memerlukan bantuan telah terlewatkan. Sebab, biasanya selalu
ada perencanaan untuk pembangunan di setiap tahun. Tentunya di dukung data-data
yang valid. Artinya, semua sekolah terdata. Sebenernya anggaran yang diperlukan
juga tidak terlalu besar, hanya dua kelas. Kondisi itu juga memperlihatkan
bahwa rencana perbaikan sekolah tidak terprogram secara baik-baik oleh pemvrop,
pemko, atau pemkab.
Biasanya
dan seharusnya, pemda memiliki blue print,
berupa pemetaan. Khusus untuk Disdik, berupa pemetaan pendidikan. Dengan
pemetaan itu bisa tergambarkan sekolah-sekolah yang “tidak wajar” yang harus diperkuat melalui cara
rehabilitasi. Melihat kenyataan itu, pemetaan yang dilakukan dipastikan kurang
tajam. Meski jarak dengan pusat kota hanya sekitar 25 kilometer.
Tabalong
adalah wilayah yang kaya sumber daya. Terdapat perusahaan tambang berskala
besar. Seharusnya, hal ini tidak terjadi lagi. Karena CSR (corporate social responsibility) dari perusahaan-perusahaan itu
pasti dapat digunakan untuk membangun daerah.
Pemkab
seharusnya berinisiatif untuk menyalurkan bantuan melalui CSR agar bisa dilakukan
sesegera mungkin. Karena jika melalui jalur APBD, sudah menjadi rahasia umum
harus menunggu pencairan anggaran. Ini memerlukan waktu. Jika menggunakan APBD
perubahan tentu harus menunggu pula hingga pertengahan 2015. Bisa-bisa
bangunannya baru selesai akhir 2015.
Sebagian
besar anak-anak yang tinggal di pedesaan dewasa ini sudah mulai menyadari
tentang pentingnya pendidikan, namun ada beberapa faktor yang menyebabkan
masyarakat desa belum mampu mengenyam pendidikan dengan layak, di antaranya
pengaruh dari lingkungan keluarga yang tidak mendukung akan semangat belajar
mereka, karena kebanyakan orang tua di desa beranggapan bahwa lebih baik
meneteskan peluh diladang daripada duduk seharian di bangku sekolah. Faktor
lain yang menyebabkan susahnya anak-anak mengenyam pendidikan adalah
ketiadaanya bangunan sekolah yang mudah mereka jangkau dan juga termaksud akses
menuju sekolah yang sulit, sehingga semangat untuk belajar yang dimiliki
anak-anak di desa tidak dapat tersalurkan.
c.
Kesimpulan
Dari pembahasan dapat ditarik
kesimpulan bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di daerah
pedesaan adalah karena kurangnya kesadaran para penduduk desa yang beranggapan
bahwa kemampuan bekerjalah yang lebih penting dari kemampuan intelektual.
Selain faktor tersebut, faktor lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat
pendidikan di pedesaan adalah karena kurang meratanya pelaksanaan pendidikan,
Hal ini dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Desa Kembang Kuning, Tabalong,
di mana ada sekolah yang menggunakan bangunan bekas WC sebagai ruang kelas
untuk pelaksanaan proses belajar mengajar. Dapat dilihat dengan jelas
kesenjangan yang terjadi antara pendidikan dikota-kota besar dengan pendidikan
yang ada diwilayah pendidikan. Di daerah pedesaan sarana prasarana pendidikan
yang ada bisa dikatakan jauh dari kata layak dan juga akses untuk menempuh
pendidikan sangat menyulitkan bagi pelajar dipedesaan.
Sebenarnya semangat untuk menuntut
ilmu telah dimiliki oleh anak-anak di pedesaan, namun sayangnya hal itu tidak didukung
oleh faktor lingkungan keluarga yang masih beranggapan bahwa pendidikan tidak
lebih penting daripada kemampuan bekerja diladang. Faktor lain yang memupuskan
harapan anak-anak pedesaan untuk belajar adalah kurangnya sarana prasarana
pendukung proses pendidikan.
d.
Saran
Seharusnya
pemerintah harus lebih berperan aktif dalam proses berjalannya pendidikan di
daerah pedesaan, karena masyarakat desa tidak bisa hanya disediakan fasilitas
pendidikan, tapi harus diberikan pemahaman akan pentingnya pendidikan karena
masyarakat desa pada umumnya masih tertutup akan perkembangan. Kementrian
Pendidikan juga diharapkan mampu bekerja sama dengan Kementrian lainnya guna
memaksiamalkan pelaksanaan pendidikan di daerah pedesaan, misalnya bekerja sama
dengan Kementrian Perhubungan guna membangun akses yang layak di pedesaan
sehingga akses pendidikan di pedesaan lebih mudah, dengan demikian kesadaran
masyarakat pedesaan akan pentingnya pendidikan semakin besar.
DAFTAR
PUSTAKA
Idi,
Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suryadi,
Ace. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung.
Muhadjir, Noeng. 2000. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
Koentjaraningrat.
1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Shahab,
Kurnadi. 2014. Sosiologi Pedesaan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Banjarmasin
Post. Edisi 9 Oktober 2014. Halaman 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar