Kamis, 16 Oktober 2014

MINIMNYA PENDIDIKAN MASYARAKAT DESA ( mata kuliah sosiologi desa )


MINIMNYA PENDIDIKAN MASYARAKAT DESA


a.    Latar Belakang
Daerah pedesaan merupakan tempat yang asri dan penuh dengan rasa toleransi yang tinggi diantara penduduknya. menurut Paul H. Landis desa adalah pemukiman yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dalam kesehariannya masayarakat desa sangat memegang erat rasa kekeluargaan, dan jiwa gotong royong. Adanya kondisi seperti itu menjadikan penduduk merasa kehidupan pedesaan penuh dengan kedamaian, tenggang rasa yang sangat tinggi.
Padahal pada kenyataannya, potensi masalah pasti ada di keadaan desa yang dinamis pun. Menurut Rogers (1969) salah satu ciri masyarakat desa adalah Lack of innovation, yaitu adanya rasa enggan untuk menerima atau menciptakan ide-ide baru. Hal ini biasanya disebabkan karena kurangnya keterbukaan terhadap pengetahuan baru dan kurangnya kesadaran terhadap pentingnya pendidikan. Sebagian besar masyarakat desa lebih mengutamakan keterampilan bekerja daripada kemampuan intelektual, sehingga jarang dari penduduk desa yang merasa perlu mengenyam pendidikan.
Masalah kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan dikalangan masyarakat desa tidak bisa dianggap sebagai hal yang sepele, karena hal itu secara tidak langsung dapat menghambat perkembangan dan kemajuan desa. Rendahnya tingkat pendidikan di desa sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh faktor internal dari masyarakat desa itu sendiri melainkan juga merupakan bentuk kurangnya dukungan dari pemerintah bersangkutan itu sendiri, hal ini terlihat dari ketidaklayakan sarana dan prasaranan pendidikan yang ada di daerah pedesaan.
Seperti halnya bangunan sekolah disuatu desa yang hanya beratapkan daun rumbia dan tanpa sarana meja dan kursi sehingga para siswa terpaksa harus belajar sambil bertiarap dan berdesakan juga kondisi beberapa materialnya sudah lapuk, dan juga masalah besar penyebab rendahnya pendidikan adalah susahnya akses jalan yang menyebabkan siswa harus berjalan berkilo-kilo dan mempertaruhkan nyawa dengan melintasi sungai hanya menggunakan seutas kawat baja untuk mencapai sekolah. Oleh karena itu masalah pendidikan di daerah pedesaan menarik untuk dibahas.
  
b.   Pembahasan
Pendidikan yang ideal menurut Badan Standar Nasional Pendidikan adalah harus memiliki sarana prabot, pralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya. Namun dalam keadaan real dimasyarakat pedesaan, hal ini masih belum bisa dicapai tanpa diketahui sebab pastinya, padahal pemerintah telah menganggarkan sekurang-kurangnya 20% dari APBD dan APBN untuk keperluan atau kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Seharusnya Pemerintah bersangkutan lebih berperan aktif dalam penyelenggaran pendidikan di setiap wilayah di suatu negara, bukan hanya pada daerah kota-kota besar saja namun juga aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di wilayah pedesaan.
            Daerah pedesaan  sebenarnya memiliki potensi sumber daya yang besar untuk dieksplor, namun karena kurangnya kesadaran  akan pentingnya pendidikan, maka perkembangan pendidikan akan terhambat, hal ini benar-benar terjadi disekitar kita contohnya terjadi di Desa Kambang Kuning, Haruai, Tabalong. Mereka menjalankan kegiatan belajar di bekas ruangan WC selama kurang lebih 4 tahun terakhir ini. Kondisi itu sangatlah ironis karena terjadi di Sekolah yang lokasinya hanya sekitar 25 kilometer dari Ibu Kota Tabalong Tanjung.
Apalagi, Tabalong adalah salah satu kabupaten yang kaya sumber daya alam (SDA) dan hasil perkebunan. Banyak perusahaan dari skala lokal, nasional hingga internasional yang mengais rezeki di kabupaten tersebut. Tetapi seperti itulah yang terjadi di SDN 2, Desa Kembang Kuning, Haruai. Jika sepintas dilihat dari luar, bangunan sekolah yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat kecamatan tersebut masih bagus karena terbuat dari beton dengan cat yang belum kusam. Akan tetapi sudah bertahun-tahun proses belajar mengajar di sekolah tersebut juga menggunakan ruangan yang semula digunakan untuk Toilet atau WC rumah dinas guru sebagai ruang kelas. Hal itu tepaksa diakukan karena usulan untuk menambah ruang yang diajukan pengelola sekolah, belum juga ada tindak lanjutnya. Saat ini, sekolah tersebut memiliki 232 murid. Sementara ruang kelas hanya enam unit plus satu ruang untuk para guru. Kebutuhan ruang kelas bagi murid-murid dari kelas I sampai IV sebanyak delapan unit. Perinncian-nya, kelas I, IV, dan VI masing-masing satu ruang serta kelas II dan III masing-masing dua ruang. Karena ruang yang tersedia hanya enam unit, maka dua ruang lain yang digunakan untuk proses belajar mengajar murid kelas IIB dan IIIB menggunakan dua rumah dinas guru yang berberntuk kopel.
Sementara ruang kelas  WC digunakan untuk pelajaran agama secara bergiliran bagi semua kelas. Diperkirakan ukuran ruang kelas bekas WC itu adalah empat kalin tiga meter. Sementara ruang dri rumah dinas, masing-masing berukuran 4X6 meter. Berdasarkan pantauan, jumlah murid yang berkelas dirumah dinas hanya 18 orang. Antara meja guru dan murid tidak berjarak. Itu pun banyak yang dalam kondisi rusak. Kaca jendela juga ada yang pecah parahnya lagi, bila hujan turun lebat, lantai yang tidak berkeramik akan terendam air.
Sekolah Dasar Negeri (SDN) SDN 2 Kembang Kuning, Tabalong yang menjadikan bekas ruang toilet dan rumah dinas memperlihatkan bahwa pemerintah daerah (pemda) setempat lupa. Sekolah yang memerlukan bantuan telah terlewatkan. Sebab, biasanya selalu ada perencanaan untuk pembangunan di setiap tahun. Tentunya di dukung data-data yang valid. Artinya, semua sekolah terdata. Sebenernya anggaran yang diperlukan juga tidak terlalu besar, hanya dua kelas. Kondisi itu juga memperlihatkan bahwa rencana perbaikan sekolah tidak terprogram secara baik-baik oleh pemvrop, pemko, atau pemkab.
Biasanya dan seharusnya, pemda memiliki blue print, berupa pemetaan. Khusus untuk Disdik, berupa pemetaan pendidikan. Dengan pemetaan itu bisa tergambarkan sekolah-sekolah yang “tidak wajar”  yang harus diperkuat melalui cara rehabilitasi. Melihat kenyataan itu, pemetaan yang dilakukan dipastikan kurang tajam. Meski jarak dengan pusat kota hanya sekitar 25 kilometer.
Tabalong adalah wilayah yang kaya sumber daya. Terdapat perusahaan tambang berskala besar. Seharusnya, hal ini tidak terjadi lagi. Karena CSR (corporate social responsibility) dari perusahaan-perusahaan itu pasti dapat digunakan untuk membangun daerah.
Pemkab seharusnya berinisiatif untuk menyalurkan bantuan melalui CSR agar bisa dilakukan sesegera mungkin. Karena jika melalui jalur APBD, sudah menjadi rahasia umum harus menunggu pencairan anggaran. Ini memerlukan waktu. Jika menggunakan APBD perubahan tentu harus menunggu pula hingga pertengahan 2015. Bisa-bisa bangunannya baru selesai akhir 2015.
Sebagian besar anak-anak yang tinggal di pedesaan dewasa ini sudah mulai menyadari tentang pentingnya pendidikan, namun ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat desa belum mampu mengenyam pendidikan dengan layak, di antaranya pengaruh dari lingkungan keluarga yang tidak mendukung akan semangat belajar mereka, karena kebanyakan orang tua di desa beranggapan bahwa lebih baik meneteskan peluh diladang daripada duduk seharian di bangku sekolah. Faktor lain yang menyebabkan susahnya anak-anak mengenyam pendidikan adalah ketiadaanya bangunan sekolah yang mudah mereka jangkau dan juga termaksud akses menuju sekolah yang sulit, sehingga semangat untuk belajar yang dimiliki anak-anak di desa tidak dapat tersalurkan.

c.    Kesimpulan
Dari pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di daerah pedesaan adalah karena kurangnya kesadaran para penduduk desa yang beranggapan bahwa kemampuan bekerjalah yang lebih penting dari kemampuan intelektual. Selain faktor tersebut, faktor lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di pedesaan adalah karena kurang meratanya pelaksanaan pendidikan, Hal ini dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Desa Kembang Kuning, Tabalong, di mana ada sekolah yang menggunakan bangunan bekas WC sebagai ruang kelas untuk pelaksanaan proses belajar mengajar. Dapat dilihat dengan jelas kesenjangan yang terjadi antara pendidikan dikota-kota besar dengan pendidikan yang ada diwilayah pendidikan. Di daerah pedesaan sarana prasarana pendidikan yang ada bisa dikatakan jauh dari kata layak dan juga akses untuk menempuh pendidikan sangat menyulitkan bagi pelajar dipedesaan.
Sebenarnya semangat untuk menuntut ilmu telah dimiliki oleh anak-anak di pedesaan, namun sayangnya hal itu tidak didukung oleh faktor lingkungan keluarga yang masih beranggapan bahwa pendidikan tidak lebih penting daripada kemampuan bekerja diladang. Faktor lain yang memupuskan harapan anak-anak pedesaan untuk belajar adalah kurangnya sarana prasarana pendukung proses pendidikan.

d.   Saran
Seharusnya pemerintah harus lebih berperan aktif dalam proses berjalannya pendidikan di daerah pedesaan, karena masyarakat desa tidak bisa hanya disediakan fasilitas pendidikan, tapi harus diberikan pemahaman akan pentingnya pendidikan karena masyarakat desa pada umumnya masih tertutup akan perkembangan. Kementrian Pendidikan juga diharapkan mampu bekerja sama dengan Kementrian lainnya guna memaksiamalkan pelaksanaan pendidikan di daerah pedesaan, misalnya bekerja sama dengan Kementrian Perhubungan guna membangun akses yang layak di pedesaan sehingga akses pendidikan di pedesaan lebih mudah, dengan demikian kesadaran masyarakat pedesaan akan pentingnya pendidikan semakin besar.



DAFTAR PUSTAKA

Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suryadi, Ace. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung.
Muhadjir, Noeng. 2000. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Shahab, Kurnadi. 2014. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Banjarmasin Post. Edisi 9 Oktober 2014. Halaman 1.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar