Aneka Ragam Kebudayaan dan Masyarakat
A.
Konsep
Suku Bangsa
1. Suku
Bangsa
Setiap
kebudayaan yang dalam suatu masyarakat baik berwujud sebagai komunitas desa,
kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa
menanmpilkan suatu corak khas terutama terlihat oleh orang luar warga
masyarakat bersangkutan. Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena
kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu kebudayaan
fisik dengan bentuk khusus; atau karena diantara pranata-pranatanya ada suatu
pola sosial khusus, atau dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya
khusus.
Pokok
perhatian dari suatu deskripsi etnografi adalah kebudayaan-kebudayaan dengan
corak khas seperti itu. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak
khas adalah “suku bangsa” (dalam
bahasa Inggris disebut ethnic group dan bila diterjemahkan
secara harfiah “kelompok etnik”). Namun
di sini digunakan istilah “suku bangsa”
saja karena sifat kesatuan dari suatu suku bangsa bukan “kelompok”, melainkan
“golongan”. Konsep yang tercakup dalam istilah “suku bangsa” adalah suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan
kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali (tetapi tidak
selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Jadi kesatuan “kebudayaan” bukan
suatu hal yang ditentukan oleh orang luar (misalnya oleh seorang ahli
antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya, dengan metode-metode analisi
ilmiah), melainkan oleh warga kebudayaan bersangkutan tersebut.
Dalam
kenyataan, konsep “suku bangsa” lebih kompleks dari pada yang terurai diatas.
Ini disebabkan karena dalam kenyataan, batas dari kesatuan manusia yang
merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau
menyempit, tergantung pada keadaan. Misanya, penduduk Pulau Flores di Nusa
Tenggara terdiri dari beberapa suku bangsa yang khusus, dan menurut kesadaran
orang Flores itu sendiri, yaitu orang Manggarai, Ngada, Sikka, Riung, Nage-keo,
Ende, dan Larantuka. Demikian pula penduduk Irian Jaya yang di Irian Jaya
sendiri sebenarnya merasakan diri orang Sentani, orang Marindanim, orang Serui,
orang Kapauku, orang Moni dan sebagainya, akan mersa dirin mereka sebagai Putra
Irian Jaya apabila mereka keluar dari Irian Jaya.
Mengenai
pemakaian suku bangsa sebaiknya selalu memakainya secara lengkap, dan agar
tidak hanya mempergunakan istilah singkatan “suku” saja. Pemakaian yang tepat,
misalnya suku bangsa Minangkabau suku Sunda, suku Ngaju, suku Ambon. Deskripsi
mengenai kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan isi dari sebuah
karangan etnografi.
2. 2. Beragam Kebudayaan Suku Bangsa
Selain
mengenai besar-kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suku bangsa,
seorang sarjana antropologi tentu juga menghadapi masalah perbedaan asa dan
kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok
deskripsi etnografinya. Dalam hal itu para sarjana antropologi sebaiknya
membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan atas
kriteria mata pencarian dan sistem ekonomi ke dalam enam macam: (a) masyarakat
pemburu dan peramu (hunting and gathering
societies), (b) masyarakat peternak (pastoral
societies), (c) masyarakat peladang (societies
of shifing cultivators), (d) masyarakat nelayan (fishing communities), (e)
masyarakat petani pedesaan (peasant
communities), dan (f) masyarakat perkotaan kompleks (complex urban societies).
Pada
masa kini jumlah dari semua suku bangsa yang hidup dan berburu di seluruh dunia
belum ada setengah juta orang. Dibandingkan dengan di seluruh dunia yang kini
berjumlah lebih dari 3.000 juta, maka hanya tinggal kira-kira 0,01% dari
seluruh penduduk dunia yang masih hidup dari berburu, dan jumlah itu sekarang
makin berkurang juga karena suku bangsa berburu itu akhir-akhir ini sudah
banyak yang pindah ke kota-kota untuk menjadi buruh.
Kebudayaan
peternak yang hidup dalam pastoral
societies hingga kini masih ada di daerah-daerah padang rumput stepa atau
sabana di Asia Barat Daya, Asia Tengah, Siberia, Asia Timur Laut, Afrika Timur,
atau Afrika Selatan. Kehidupan suku-suku bangsa peternak berpindah-pindah dari
suatu perkemahan lain dengan menggembala ternak mereka menurut musim-musim
tertentu. Mereka memerah susu ternak lalu membuat menjadi mentega, keju, dan
hasil olahan lain susu yang dapat disimpan lama.
Kebudayaan
peladang yang hidup dalam shifting
cultivators societies terbatas penggambarannya di daerah hutan rimba tropis
di daerah pengairan Sungai Kongo di Afrika Tengah, di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia (di luar Jawa dan Bali),
dan di daerah
pengaairan sungai Amazon di Amerika Selatan. Para peladang di daerah tropis
tersebut mempergunakan teknik becocok tanam yang sama. Walaupun mereka harus
berpindah-pindah ladang setiap dua-tiga tahun, namun suku-suku bangsa peladang
biasanya hidup menetap dalam desa-desa yang tetap.
Bercocok
tanam di ladang merupakan suatu mata pencarian yang dapat juga menjadi dasar
suatu peradaban yang kompleks dengan masyarakat perkotaan, sistem kenegaraan,
dan seni bangunan serta pertukangan yang tinggi. Contoh dari suatu peradaban
yang serupa itu adalah peradaban Indian Maya dalam abad ke-15 di Meksiko
Selatan, Yukatan, dan Guatemala di Amerika Tengah.
Kebudayaan
nelayan yang hidup dalam fishing
communities ada di seluruh dunia: di sepanjang pantai, baik dari
negara-negara yang berada di pinggir benua-benua, maupun di pulau-pulau. Secara
khusus desa-desa nelayan itu biasnya terletak di daerah muara-muara sungai atau
di sekitar sebuah teluk. Lokasi di muara sungai memudahkan para nelayan untuk
melabuhkan perahu atau biduk yang mereka pakai untuk ke luar menuju laut.
Kebudayaan
petani pedesaan, yang hidup dalam peasant
communities pada masa sekarang merupakan bagian terbesar dari objek
perhatian para ahli antropologi, karena suatu prporsi terbesar dari penduduk
dunia masa kini memang masih merupakan petani yang hidup dalam
komunitas-komunitas desa, yang berdasarkan pertanian, khusus nya bercocok tanam
menetap secara tradisional dengan irigasi.
Kebudayaan
perkotaan yang kompleks telah menjadi objek perhatian para ahli antropologi,
terutama sesudah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul banyak negara baru bekas
jajahan, dengan penduduk yang biasanya terdiri dari banyak suku bangsa,
golongan bahasa, atau golongan agama, dalam wadah satu negara nasional yang
merdeka. Maslah-masalah yang berhubungan dengan gejala tersebut dan juga
beberapa masalah yang menjadi pokok perhatian antropologi spesialis, sebagian
besar juga timbul di kota-kota, menyebabkan ada perhatian luas dari para ahli
antropologi terhadap masyarakat kota, dan timbulnya subilmu antropologi
spesialis yang disebut “antropologi perkotaan” (urban antropology)
B. Konsep
Daerah Kebudayaan
Suatu
“daerah kebudayaan” (culture area)
merupakan suatu penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli
antropologi) dari suku-suku bangsa yang beragam kebudayaannya, tetapi mempunyai
beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Saran-saran pertama untuk
perkembangan sistem cultre area
berasal dari seorang pendekar ilmu antropologi di Amerika, F. Boas, walaupun
para pengarang dari abad ke-19 tentang kebudayaan dan masyarakat suku-suku
bangsa Indian pribumi Benua Amerika telah mempergunakan sistem klasifikasi
berdasarkan dearah-daerah geografi di Benua Amerika yang menunjukkan banyak
persamaan dengan sistem klasifikasi culture
area di Amerika Utara yang kita kenal sekarang.
Penggolongan
beberapa kebudayaan dalam suatu daerah kebudayaan dilakukan berdasarkan atas
persamaan ciri-ciri yang mencolok. Ciri-ciri tersebut tidak hanya berwujud
unsur kebudayaan fisik (misalnya alat-alat berburu, alat-alat bertani,
alat-alat transportasi, senjata, bentuk-bentuk tempat kediaman dan sebagainya),
tetapi juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau
sistem budaya (misalnya unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, sistem
perekonomian, upacara-upacara, unsur cara berpikir, dan adat-istiadat.
C.
Daerah-daerah
Kebudayaan di Amerika Utara
Kesembilan
daerah kebudayaan di Amerika Utara menurut klasifikasi Clark Wissler adalah:
1.
Daerah kebudayaan Eskimo, meliputi kebudayaan-kebudayaan
suku-suku bangsa pemburu binatang laut, di pantai utara dan barat laut Kanada,
serta pantai pulau-pulau yang berhadapan dengan Pantai Kanada (seperti
Bafinland dan Greenland). Contoh suku bangsa dari daerah ini adalah: Eskimo Nunivakmiut di Alaska, Eskimo
Iglulik di pantai-pantai bagian utara dan Teluk Hudson, dan Eskimo Angmasalik
di pantai tenggara Pulau Greenland.
2. Daerah
kebudayaan Yukon-Mackenzie, meliputi
kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa pemburu binatang hutan Koniferus di
Kanada, barat laut (seperti beruang atau binatang-binatang berburu yang lebih
kecil), dan penangkapan ikan di Sungai Yukon
dan Mackenzie, serta anak-anak sungainya.
3. Daerah
kebudayaan pantai barat laut, meliputi kebudayaan
suku-suku bangsa bermsyarakat rumpun yang tinggal di desa-desa tepi pantai
barat laut Kanada, atau di tepi pulau-pulau yang berhadapan dengan Pantai
Kanada. Contoh-contoh suku bangsa dari daerah ini misalnya Tlingit, Haida, dan Kwakiut.
4. Daerah
kebudayaan dataran tinggi, meliputi kebudayaan
suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang hidup di desa-desa dalam rumah-rumah
setengah di bawah tanah dalam musim dingin (semisubterranean
winter dwellings) dan rumah-rumah jerami untuk musim panas. Contoh
suku-suku bangsa dari daerah ini adalah: Kutenai,
Kiamat, dan Yurok.
5. Daerah
kebudayaan Plains, yang meliputi kebudayaan suku-suku
bangsa bermasyarakat rumpun yang sampai kira-kira akhir abad ke-19 tersebar di
daerah stepa-stepa mahaluas, yaitu di daerah prairie atau plains di
antara sungai besar Mississipi dan deret Pegunungan Rocky, yang hidup dari
berburu binatang banteng bison dengan kuda (yang pemakaiannya mereka pelajari
dari orang Spanyol). Contoh suku bngsa dari daerah ini misalnya: Crow, Omaha, dan Comanche.
6. Daerah
kebudayaan hutan timur, meliputi kebudayaan suku-suku
bangsa bermasyarakat rumpun yang tersebar di daerah-daerah sekitar bagian timur
laut, dan hidup sebagai petani menetap dengan jagung sebagai tanaman pokok.
Contoh suku bangsa dari daerah ini misalnya: Winnebago, Huron, dan Iroquois.
7. Daerah
kebudayaan Dataran California
(California Great Basin),
meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang hidup dari
berburu dan mengumpulkan biji-bijian. Contoh suku bangsa dari daerah ini adalah
misalnya: Miwok, Washo, dan Ute.
8. Daerah
kebudayaan barat daya, meliputi kebudayaan suku-suku
bangsa bermasyarakat rumpun, yang tersebar di daerah gurun dan setengah gurun,
dan yang hidup dari pertanian intensif di lembah-lembah sungai. Contoh dari
suku-suku bangsa daerah ini adalah: Apache,
Navaho, Zuni Pueblo, Hopi Pueblo, dan Santa Clara Pueblo.
9. Daerah
kebudayaan tenggara, meliputi kebudayaan suku-suku
bangsa yang hidup dari bercocok tanam intensif dengan cangkul. Menanam jagung,
labu-labuan, dan tembakau sebagai tanaman pokok. Contoh dari suku-suku bangsa
dari daerah ini adalah: Cherokee,
Seminole, dan Choctow.
10. Daearah
kebudayaan Meksiko,
meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat perdesaan yang berorientasi
terhadap suatu peradaban kota yang banyak terpengaruh oleh kebudayaan Spanyol dan agama Katolik.
D.
Daerah-daerah
Kebudayaan di Amerika Latin
1. Sistem Penggolongan Daerah-daerah
Kebudayaan di Amerika Latin
Benua
Amerika Selatan dan Amerika Tengah pertama-tama dibagi ke dalam daerah-daerah
kebudayaan Amerika Latin oleh J.M. Cooper. Sistem itu membedakan adanya empat
tipe kebudayaan di Amerika Latin, yaitu:(1) Circum
Caribbean Cultures; (2) Andean
Civilization; (3) Tropical Forest
Cultures; (4) dan Marginal Cultures.
Dalam buku J.M. Steward dan L.C. Faron berjudul Native Peoples of South Amerika (1959) yang merupakan suatu
ikhtisar dari seluruh bahan yang tercantum dalam Handbook of the South Amerika Indians, pada dasarnya masih dipakai
juga system klasifikasi Cooper, tetapi dengan beberapa perbaikan menjadi lima
tipe, yaitu: (1) Cultures with Theocratic
and Militaristic Chiefdoms; (2) Andean
Cultures; (3) Southern Andean
Cultures; (4) Tropical Forest
Cultures; dan (5) Cultures of Nomadic
Hunters and Gatheres.
2. Daerah-daerah Kebudayaan di Amerika
Latin
a.
Daerah kebudayaan Cacique
meliputi kebudayaan-kebudayaan yang dulu maupun sekarang tersebar di Kepulauan
Karibia, di negara-negara Venezuela dan Columbia bagian utara, di Equador dan
Bolivia bagian timur.
b.
Daerah kebudayaan Andes
meliputi daerah dari kebudayaan zaman Pre-Inca, zaman kejayaan negara Inca di
Pegunungan Andes, dan suku-suku bangsa rakyat Indian dalam zaman setelah
runtuhnyanegara Inca di negara Peru dan Bolivia bagian barat. Contoh suku
bangsa, yaitu Campa dan Inca.
c.
Daerah kebudayaan Andes Selatan
meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup di bagian utara negara Chili
dan Argentina, yang tidak pernah mengembangkan system organisasi sosial yang
luas berupa sistem-sistem federasi desa-desa atau negara-negara kecil, tetapi
dalam kebudayaan kebendaannya dan teknologinya banyak terpengaruh oleh
peradaban Andes. Contoh suku-suku bangsa yaitu, Atacama, Diaguita, dan Araucania.
d.
Daerah kebudayaan rimba tropis
meliputi kebudayaan suku-suku bangsa di perairan Sungai Amazon dan anak-anak
sungainya, serta di bagian besar dari negara Brazil.
e.
Daerah kebudayaan berburu dan
meramu adalah daerah yang dulu oleh Cooper disebut Marginal Culture Area, dan meliputi kebudayaan
suku-suku bangsa yang tidak mengenal bercocok tanam.
E.
Sub-subkawasan
Geografi di Oseania
Kebudayaan-kebudayaan
dari penduduk kepulauan di Lautan Teduh dalam keseluruhan belum pernah dibagi
ke dalam culture areas oleh para ahli
antropologi, dan memang lebih mudah untuk menggolong-golongkan beragam
kebudayaan yang tersebar di beratus-ratus kepulauan di kawasan itu menurut
empat subkawasan geografis, yaitu: kebudayaan-kebudayaan penduduk asli
Australia, kebudayaan-kebudayaan penduduk Mikronesia, dan kebudayaan-kebudayaan
penduduk Polinesia.
Penduduk
pribumi Australia mempunyai ciri-ciri ras yang sangat khas, yang di dalam
antropologi-fisik disebut kompleks ciri Australoid. Penduduk Melanesia
(termasuk Irian) menunjukkan ciri-ciri ras Melanesoid. Penduduk Mikronesia pada
umumnya menggunakan bahasa-bahasa yang sekeluarga dan menunjukkan suatu
pengkhususan mengenai sistem mata pencarian dan kemasyarakatannya, sebagai
penduduk pulau-pulau atoll yang kecil dan sempit, hidup dari berkebun
kecil-kecilan dan perikanan secara luas. Penduduk Polinesia dipandang dari
sudut ras menunjukkan ciri-ciri fisik yang khas juga, yaitu ciri-ciri
Polinesian, yang oleh para ahli antropologi-fisik sebenarnya belum banyak di
teliti dan dianalisis. Bahasa-bahasa Polinesia yang sudah banyak diteliti oleh
para ahli bahasa sudah jelas merupakan keluarga bahasa.
F.
Daerah-daerah
Kebudayaan di Afrika
Ragam
kebudayaan suku-suku bangsa penduduk Afrika (kecuali Madagaskar) untuk pertama
kali diklasifikasikan ke dalam sebelas daerah kebudayaan oleh ahli antropologi
bahasa Amerika, M.J. Herskovits. Tahun 1955 telah terbit klasifikasi dari
bahasa-bahasa di Afrika ke dalam rumpun-rumpun dan keluarga-keluarga bahasa
oleh para ahli linguistik bangsa Amerika, antara lain J.H Greenbarg. Berbeda
dengan di Inddonesia klasifikasi bahasa-bahasa di Afrika tidak dapat dipakai
untuk suatu klasifikasi kebudayaan.
Oleh
karena sistem klasifikasi Herskovits terlampau kasar sifatnya, sedangkan
klasifikasi Murdock kurang memberi gambaran menyeluruh, maka penulis telah
mencoba mengombinasikan kedua sistem tersebut sehingga terjadi suatu sistem
yang membagi Afrika dan Madagaskar ke dalam 18 daerah kebudayaaan. Berikut ini
kedelapan belas daerah kebudayaaan dari kedua daerah geografi tersebut akan
diuraikan sifat-sifatnya secara singkat satu demi satu, yaitu:
1.
Daerah kebudayaan Afrika Utara.
Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang sepanjang
sejarah telah mengalamai nasib yang lebih-kurang sama, sehingga walaupun
asalnya beraneka warga, tetapi pada ciri-ciri lahirnya tampak suatu keseragaman
yang besar.
2.
Daerah kebudyaan Hilir Nil.
Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa petani pedesaan yang
intensif di suatu daerah lembah-lembah sungai yang subur, menggunakan irigasi
dan bajak.
3.
Daerah kebudayaan Sahara.
Daerah geografi ini meliputi kebudayaan suku bangsa yang hidup menetap dalam
masyarakat rumput dari bercocok tanam dan beternak, atau yang hidup mengembara
dari peternakan saja di daerah-daerah sumber air (oasis) dan di daerah-daerah
di mana air tanah belum terlampau dalam sehingga masih dapat diambil dengan menggali
sumur.
4.
Daerah kebudayaan Sudab Barat. Derah kebudayaan
ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa Negroid yang hidup dari bercocok tanam
berpindah-pindah di ladang tanpa irigasi dan bajak (tetapi dengan cangkul).
Sebagai mata pencarian lain mereka beternak sapi, tetapi tidak untuk diambil
susu atau dagingnya, hanya sekedar untuk gengsi, misalnya untuk mas kawin.
5.
Daerah kebudayaan Sudan Timur.
Daerah ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa petani pedesaan yang hidup dari
bercocok tanam menetap dengan irigasi. Tanaman pokonya gandum Sudan (suku-suku
bangsa di bagian selatan dari daerah ini, menanam tanaman Asia Tenggara seperti
keladi, ubi jalar, dan pisang sebagai tanaman pokok).
6.
Daerah kebudayaan Hulu Tengah Nil.
Daerah ini, yang oleh Murdock disebut daerah Nile Corridor, bukan suatu daerah kebudayaan, melainkan suatu
daerah geografi yang sejak berabad-abad lamanya menjadi semacam jalur lalu
lintas dari berbagai pengaruh kebudayaan pedalaman Afrika.
7.
Daerah kebudayaan Afrika Tengah. Daerah
kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa Negroid merupakan
masyarakat rumpun dan hidup dari bercocok tanam berpindah-pindah di ladang
tanpa menggunakan irigasi maupun bajak.
8.
Daerah kebudayaan Hulu Selatan Nil.
Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan bermasyarakat rumpun yang berdasarkan
peternakan menetap (tidak mengembara) di daerah-daerah sabana di Sudan Selatan.
9.
Daerah kebudayaan Tanduk Afrika.
Daerah kebudayaan ini meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat pedesaan yang
hidup dari peternakandan bercocok tanam intensif dengan irigasi dan bajak di
lembah-lembah sungai dataran tinggi Ethiopia.
10. Daerah
kebudayaan Pantai Guinea.
Daerah kebudayaan ini meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat petani pedesaan
dengan ciri-ciri ras Negroid.
11. Daerah
kebudayaan “Bantu” khatulistiwa.
Daerah
kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang
hidup dari peladangan berpindah-pindah di hutan rimba tropis, tanpa irigasi dan
bajak. Tanaman pokoknya adalah keladi, ubi jalar, dan pisang (tanaman Asia
Tenggara), walaupun mereka juga mennam gandum Sudan sebagai tanaman tambahan.
12. Daerah
kebudayaan “Bantu” Danau-danau.
Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat petani
pedesaan yang hidup dari pertanian intensif menetap dengan irigasi di
lereng-lereng pegunungan yang dikelilingi oleh danau-danau besar, seprti Danau
Victoria, Kioga, Albert, Edward, Kivu, dan Tanganyika.
13. Daerah
kebudayaan “Bantu” Timur.
Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa
bermasyarakat rumpun. Mata pencarian tambahan yang penting adalah peternakan
sapi yang diperah susunya untuk membuat mentega dan keju.
14. Daerah
kebudayaan “Bantu” Tengah.
Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang sebagian besar
bermasyarakat rumpun dan hidup dari peladangan berpindah di hutan atau di
daerah sabana.
15. Daerah
kebudayaan “Bantu” Barat Daya.
Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang berdasarkan
mayarakat rumpun dan hidup dari peladangan berpindah,tanpa irigasi maupun
bajak. Suatu ciri mencolok adalah pemeliharaan sapi keramat, suatu pasangan
sapi dengan anak-anak sapinya yang beralih turn temurun secara patrilineal.
16. Daerah
kebudayaan “Bantu” Tenggara.
Daerah ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang dibagian utara berdsarkan
rumpun, tetapi di bagian selatan (Natal, Basutoland) berdasarkan masyarakat
petani pedesaan yang berorientasi pada kebudayaan kerajaan-kerajaan peternak
seperti Kerjaan Zulu, Lovedu, dan Bavenda.
17. Daerah
kebudayaan Choisan.
Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup
mengembara dari memburu dan meramu (Bushmen),
tetapi ada pula yang hidup dari peternakan (Hottentot).
18. Daerah
kebudayaanMadagaskar.
Derah kebudayaan ini meliputi kebuayaan suku bangsa bermasyarakat rumpun di
daerah pantai Timur hidup dari peladangan berpindah tanpa irigasi dan bajak.
G. Daerah-daerah Kebudayaan di Asia
A.L.
Kroeber membagi Benua Asia ke dalam daearh-daerah kebudayaan. Pembagian itu
sebenarnya masih bersifat kasar sekali dan lebih berdasarkan common sense daripada analisis dan
pebandingan unsur-unsur kebudayaan secara mendalam dan meluas. Dalam bab ini
penulis membagi kawasan Asia menurut bembagian Kroeber dengan beberapa
perubahan, ke dalam tujuh bagian, yaitu:
1.
Daerah
kebudayaan Asia Tenggara.
2.
Daerah
kebudayaan Asia Selatan
3.
Daerah
kebudayaan Asia Barat Daya
4.
Daerah
kebudayaan Cina
5.
Daerah
kebudayaan Stepa Asia Tengah
6.
Daerah
kebudayaan Siberia
7.
Daerah
kebudayaan Asia Timur Laut
H. Suku-suku Bangsa di Indonesia
Seorang
ahli antropologi biasanya selain memilih suatu kejuruan mengenai satu subilmu
dalam antropologi (ahli paleoantropologi, ahli antropologi fisik, ahli
etnologi, ahli antropologi-sosial dan sebagainya), juga memilih suatu kejuruan
mengenai suatu daerah di muka bumi (ahli Asia Barat Daya, ahli Amerika Utara,
ahli Amerika Latin, ahli Oseania, ahli Asia Tenggara dan sebagainya.
I. Ras, Bahasa,dan Kebudayaan
Sejumlah
manusia yang memiliki ciri-ciri ras tertentu yang sama, belum tentu juga
mempunyai bahasa induk yang termasuk satu rumpun bahasa, apalagi mempunyai satu
kebudayaan yang tergolong satu daerah kebudayaan.
Ada sejumlah
manusia yang memiliki ciri ras berbeda-beda, tetapi mempergunakan beberapa
bahasa induk yang berasal dari satu keluarga bahasa, sedangkan kebudayaan
mereka memang juga berbeda-beda, misalnya orang Huwa di daerah pegunungan di
Madagaskar, orang jawa, dan orang Irian dari daerah pantai utara Irian Jaya.
Dalam zaman sekarang ini, komunikasi antara
manusia dan mobilitas manusia di seluruh penjuru muka bumi kita ini makin
meluas, maka pembauran antara manusia dari beragam ras, beragam bahasa, dan
beragan kebudayaan, juga menjadi makin intensif.