Kamis, 12 Maret 2015

4 filar unicef





EMPAT PILAR PENDIDIKAN MENURUT UNESCO/UNICEF

Pendidikan menurut Unesco meliputi empat pilar, yaitu;
 
1.      Learning to know (belajar menngetahui)
2.      Learning to do (belajar melakukan sesuatu)
3.      Learning to be (belajar menjadi sesuatu)
4.      Learning to live together (belajar hidup bersama)
1.      Learning to know (belajar mengetahui)
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan. Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupannya. Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
2.      Learning to be (belajar melakukan sesuatu)
Pendidikan juga merupakan proses belajar untuk bisa melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan, perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau merespon suatu stimulus. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terrealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata
3.      Learning to be (belajar menjadi sesuatu)
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be). Hali ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri.
4.      Learning to live together (belajar hidup bersama)
pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama Dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, dan sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together).
Untuk itu semua, pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata

Kamis, 16 Oktober 2014

MINIMNYA PENDIDIKAN MASYARAKAT DESA ( mata kuliah sosiologi desa )


MINIMNYA PENDIDIKAN MASYARAKAT DESA


a.    Latar Belakang
Daerah pedesaan merupakan tempat yang asri dan penuh dengan rasa toleransi yang tinggi diantara penduduknya. menurut Paul H. Landis desa adalah pemukiman yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dalam kesehariannya masayarakat desa sangat memegang erat rasa kekeluargaan, dan jiwa gotong royong. Adanya kondisi seperti itu menjadikan penduduk merasa kehidupan pedesaan penuh dengan kedamaian, tenggang rasa yang sangat tinggi.
Padahal pada kenyataannya, potensi masalah pasti ada di keadaan desa yang dinamis pun. Menurut Rogers (1969) salah satu ciri masyarakat desa adalah Lack of innovation, yaitu adanya rasa enggan untuk menerima atau menciptakan ide-ide baru. Hal ini biasanya disebabkan karena kurangnya keterbukaan terhadap pengetahuan baru dan kurangnya kesadaran terhadap pentingnya pendidikan. Sebagian besar masyarakat desa lebih mengutamakan keterampilan bekerja daripada kemampuan intelektual, sehingga jarang dari penduduk desa yang merasa perlu mengenyam pendidikan.
Masalah kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan dikalangan masyarakat desa tidak bisa dianggap sebagai hal yang sepele, karena hal itu secara tidak langsung dapat menghambat perkembangan dan kemajuan desa. Rendahnya tingkat pendidikan di desa sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh faktor internal dari masyarakat desa itu sendiri melainkan juga merupakan bentuk kurangnya dukungan dari pemerintah bersangkutan itu sendiri, hal ini terlihat dari ketidaklayakan sarana dan prasaranan pendidikan yang ada di daerah pedesaan.
Seperti halnya bangunan sekolah disuatu desa yang hanya beratapkan daun rumbia dan tanpa sarana meja dan kursi sehingga para siswa terpaksa harus belajar sambil bertiarap dan berdesakan juga kondisi beberapa materialnya sudah lapuk, dan juga masalah besar penyebab rendahnya pendidikan adalah susahnya akses jalan yang menyebabkan siswa harus berjalan berkilo-kilo dan mempertaruhkan nyawa dengan melintasi sungai hanya menggunakan seutas kawat baja untuk mencapai sekolah. Oleh karena itu masalah pendidikan di daerah pedesaan menarik untuk dibahas.
  
b.   Pembahasan
Pendidikan yang ideal menurut Badan Standar Nasional Pendidikan adalah harus memiliki sarana prabot, pralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya. Namun dalam keadaan real dimasyarakat pedesaan, hal ini masih belum bisa dicapai tanpa diketahui sebab pastinya, padahal pemerintah telah menganggarkan sekurang-kurangnya 20% dari APBD dan APBN untuk keperluan atau kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Seharusnya Pemerintah bersangkutan lebih berperan aktif dalam penyelenggaran pendidikan di setiap wilayah di suatu negara, bukan hanya pada daerah kota-kota besar saja namun juga aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di wilayah pedesaan.
            Daerah pedesaan  sebenarnya memiliki potensi sumber daya yang besar untuk dieksplor, namun karena kurangnya kesadaran  akan pentingnya pendidikan, maka perkembangan pendidikan akan terhambat, hal ini benar-benar terjadi disekitar kita contohnya terjadi di Desa Kambang Kuning, Haruai, Tabalong. Mereka menjalankan kegiatan belajar di bekas ruangan WC selama kurang lebih 4 tahun terakhir ini. Kondisi itu sangatlah ironis karena terjadi di Sekolah yang lokasinya hanya sekitar 25 kilometer dari Ibu Kota Tabalong Tanjung.
Apalagi, Tabalong adalah salah satu kabupaten yang kaya sumber daya alam (SDA) dan hasil perkebunan. Banyak perusahaan dari skala lokal, nasional hingga internasional yang mengais rezeki di kabupaten tersebut. Tetapi seperti itulah yang terjadi di SDN 2, Desa Kembang Kuning, Haruai. Jika sepintas dilihat dari luar, bangunan sekolah yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat kecamatan tersebut masih bagus karena terbuat dari beton dengan cat yang belum kusam. Akan tetapi sudah bertahun-tahun proses belajar mengajar di sekolah tersebut juga menggunakan ruangan yang semula digunakan untuk Toilet atau WC rumah dinas guru sebagai ruang kelas. Hal itu tepaksa diakukan karena usulan untuk menambah ruang yang diajukan pengelola sekolah, belum juga ada tindak lanjutnya. Saat ini, sekolah tersebut memiliki 232 murid. Sementara ruang kelas hanya enam unit plus satu ruang untuk para guru. Kebutuhan ruang kelas bagi murid-murid dari kelas I sampai IV sebanyak delapan unit. Perinncian-nya, kelas I, IV, dan VI masing-masing satu ruang serta kelas II dan III masing-masing dua ruang. Karena ruang yang tersedia hanya enam unit, maka dua ruang lain yang digunakan untuk proses belajar mengajar murid kelas IIB dan IIIB menggunakan dua rumah dinas guru yang berberntuk kopel.
Sementara ruang kelas  WC digunakan untuk pelajaran agama secara bergiliran bagi semua kelas. Diperkirakan ukuran ruang kelas bekas WC itu adalah empat kalin tiga meter. Sementara ruang dri rumah dinas, masing-masing berukuran 4X6 meter. Berdasarkan pantauan, jumlah murid yang berkelas dirumah dinas hanya 18 orang. Antara meja guru dan murid tidak berjarak. Itu pun banyak yang dalam kondisi rusak. Kaca jendela juga ada yang pecah parahnya lagi, bila hujan turun lebat, lantai yang tidak berkeramik akan terendam air.
Sekolah Dasar Negeri (SDN) SDN 2 Kembang Kuning, Tabalong yang menjadikan bekas ruang toilet dan rumah dinas memperlihatkan bahwa pemerintah daerah (pemda) setempat lupa. Sekolah yang memerlukan bantuan telah terlewatkan. Sebab, biasanya selalu ada perencanaan untuk pembangunan di setiap tahun. Tentunya di dukung data-data yang valid. Artinya, semua sekolah terdata. Sebenernya anggaran yang diperlukan juga tidak terlalu besar, hanya dua kelas. Kondisi itu juga memperlihatkan bahwa rencana perbaikan sekolah tidak terprogram secara baik-baik oleh pemvrop, pemko, atau pemkab.
Biasanya dan seharusnya, pemda memiliki blue print, berupa pemetaan. Khusus untuk Disdik, berupa pemetaan pendidikan. Dengan pemetaan itu bisa tergambarkan sekolah-sekolah yang “tidak wajar”  yang harus diperkuat melalui cara rehabilitasi. Melihat kenyataan itu, pemetaan yang dilakukan dipastikan kurang tajam. Meski jarak dengan pusat kota hanya sekitar 25 kilometer.
Tabalong adalah wilayah yang kaya sumber daya. Terdapat perusahaan tambang berskala besar. Seharusnya, hal ini tidak terjadi lagi. Karena CSR (corporate social responsibility) dari perusahaan-perusahaan itu pasti dapat digunakan untuk membangun daerah.
Pemkab seharusnya berinisiatif untuk menyalurkan bantuan melalui CSR agar bisa dilakukan sesegera mungkin. Karena jika melalui jalur APBD, sudah menjadi rahasia umum harus menunggu pencairan anggaran. Ini memerlukan waktu. Jika menggunakan APBD perubahan tentu harus menunggu pula hingga pertengahan 2015. Bisa-bisa bangunannya baru selesai akhir 2015.
Sebagian besar anak-anak yang tinggal di pedesaan dewasa ini sudah mulai menyadari tentang pentingnya pendidikan, namun ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat desa belum mampu mengenyam pendidikan dengan layak, di antaranya pengaruh dari lingkungan keluarga yang tidak mendukung akan semangat belajar mereka, karena kebanyakan orang tua di desa beranggapan bahwa lebih baik meneteskan peluh diladang daripada duduk seharian di bangku sekolah. Faktor lain yang menyebabkan susahnya anak-anak mengenyam pendidikan adalah ketiadaanya bangunan sekolah yang mudah mereka jangkau dan juga termaksud akses menuju sekolah yang sulit, sehingga semangat untuk belajar yang dimiliki anak-anak di desa tidak dapat tersalurkan.

c.    Kesimpulan
Dari pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di daerah pedesaan adalah karena kurangnya kesadaran para penduduk desa yang beranggapan bahwa kemampuan bekerjalah yang lebih penting dari kemampuan intelektual. Selain faktor tersebut, faktor lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di pedesaan adalah karena kurang meratanya pelaksanaan pendidikan, Hal ini dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Desa Kembang Kuning, Tabalong, di mana ada sekolah yang menggunakan bangunan bekas WC sebagai ruang kelas untuk pelaksanaan proses belajar mengajar. Dapat dilihat dengan jelas kesenjangan yang terjadi antara pendidikan dikota-kota besar dengan pendidikan yang ada diwilayah pendidikan. Di daerah pedesaan sarana prasarana pendidikan yang ada bisa dikatakan jauh dari kata layak dan juga akses untuk menempuh pendidikan sangat menyulitkan bagi pelajar dipedesaan.
Sebenarnya semangat untuk menuntut ilmu telah dimiliki oleh anak-anak di pedesaan, namun sayangnya hal itu tidak didukung oleh faktor lingkungan keluarga yang masih beranggapan bahwa pendidikan tidak lebih penting daripada kemampuan bekerja diladang. Faktor lain yang memupuskan harapan anak-anak pedesaan untuk belajar adalah kurangnya sarana prasarana pendukung proses pendidikan.

d.   Saran
Seharusnya pemerintah harus lebih berperan aktif dalam proses berjalannya pendidikan di daerah pedesaan, karena masyarakat desa tidak bisa hanya disediakan fasilitas pendidikan, tapi harus diberikan pemahaman akan pentingnya pendidikan karena masyarakat desa pada umumnya masih tertutup akan perkembangan. Kementrian Pendidikan juga diharapkan mampu bekerja sama dengan Kementrian lainnya guna memaksiamalkan pelaksanaan pendidikan di daerah pedesaan, misalnya bekerja sama dengan Kementrian Perhubungan guna membangun akses yang layak di pedesaan sehingga akses pendidikan di pedesaan lebih mudah, dengan demikian kesadaran masyarakat pedesaan akan pentingnya pendidikan semakin besar.



DAFTAR PUSTAKA

Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suryadi, Ace. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung.
Muhadjir, Noeng. 2000. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Shahab, Kurnadi. 2014. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Banjarmasin Post. Edisi 9 Oktober 2014. Halaman 1.


Rabu, 08 Oktober 2014

Aneka Ragam Kebudayaan dan Masyarakat (antropologi)




Aneka Ragam Kebudayaan dan Masyarakat

A.     Konsep Suku Bangsa
      1.   Suku Bangsa

Setiap kebudayaan yang dalam suatu masyarakat baik berwujud sebagai komunitas desa, kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menanmpilkan suatu corak khas terutama terlihat oleh orang luar warga masyarakat bersangkutan. Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu kebudayaan fisik dengan bentuk khusus; atau karena diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial khusus, atau dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya khusus.
Pokok perhatian dari suatu deskripsi etnografi adalah kebudayaan-kebudayaan dengan corak khas seperti itu. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah “suku bangsa” (dalam bahasa Inggris disebut ethnic group dan bila diterjemahkan secara harfiah “kelompok etnik”).  Namun di sini digunakan istilah “suku bangsa” saja karena sifat kesatuan dari suatu suku bangsa bukan “kelompok”, melainkan “golongan”. Konsep yang tercakup dalam istilah “suku bangsa” adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Jadi kesatuan “kebudayaan” bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar (misalnya oleh seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya, dengan metode-metode analisi ilmiah), melainkan oleh warga kebudayaan bersangkutan tersebut.
Dalam kenyataan, konsep “suku bangsa” lebih kompleks dari pada yang terurai diatas. Ini disebabkan karena dalam kenyataan, batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan. Misanya, penduduk Pulau Flores di Nusa Tenggara terdiri dari beberapa suku bangsa yang khusus, dan menurut kesadaran orang Flores itu sendiri, yaitu orang Manggarai, Ngada, Sikka, Riung, Nage-keo, Ende, dan Larantuka. Demikian pula penduduk Irian Jaya yang di Irian Jaya sendiri sebenarnya merasakan diri orang Sentani, orang Marindanim, orang Serui, orang Kapauku, orang Moni dan sebagainya, akan mersa dirin mereka sebagai Putra Irian Jaya apabila mereka keluar dari Irian Jaya.
Mengenai pemakaian suku bangsa sebaiknya selalu memakainya secara lengkap, dan agar tidak hanya mempergunakan istilah singkatan “suku” saja. Pemakaian yang tepat, misalnya suku bangsa Minangkabau suku Sunda, suku Ngaju, suku Ambon. Deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan isi dari sebuah karangan etnografi.

2.      2.  Beragam Kebudayaan Suku Bangsa


Selain mengenai besar-kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suku bangsa, seorang sarjana antropologi tentu juga menghadapi masalah perbedaan asa dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok deskripsi etnografinya. Dalam hal itu para sarjana antropologi sebaiknya membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan atas kriteria mata pencarian dan sistem ekonomi ke dalam enam macam: (a) masyarakat pemburu dan peramu (hunting and gathering societies), (b) masyarakat peternak (pastoral societies), (c) masyarakat peladang (societies of shifing cultivators), (d) masyarakat nelayan (fishing communities), (e)  masyarakat petani pedesaan (peasant communities), dan (f) masyarakat perkotaan kompleks (complex urban societies).
Pada masa kini jumlah dari semua suku bangsa yang hidup dan berburu di seluruh dunia belum ada setengah juta orang. Dibandingkan dengan di seluruh dunia yang kini berjumlah lebih dari 3.000 juta, maka hanya tinggal kira-kira 0,01% dari seluruh penduduk dunia yang masih hidup dari berburu, dan jumlah itu sekarang makin berkurang juga karena suku bangsa berburu itu akhir-akhir ini sudah banyak yang pindah ke kota-kota untuk menjadi buruh.
Kebudayaan peternak yang hidup dalam pastoral societies hingga kini masih ada di daerah-daerah padang rumput stepa atau sabana di Asia Barat Daya, Asia Tengah, Siberia, Asia Timur Laut, Afrika Timur, atau Afrika Selatan. Kehidupan suku-suku bangsa peternak berpindah-pindah dari suatu perkemahan lain dengan menggembala ternak mereka menurut musim-musim tertentu. Mereka memerah susu ternak lalu membuat menjadi mentega, keju, dan hasil olahan lain susu yang dapat disimpan lama.
Kebudayaan peladang yang hidup dalam shifting cultivators societies terbatas penggambarannya di daerah hutan rimba tropis di daerah pengairan Sungai Kongo di Afrika Tengah, di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (di luar Jawa dan Bali),
dan di daerah pengaairan sungai Amazon di Amerika Selatan. Para peladang di daerah tropis tersebut mempergunakan teknik becocok tanam yang sama. Walaupun mereka harus berpindah-pindah ladang setiap dua-tiga tahun, namun suku-suku bangsa peladang biasanya hidup menetap dalam desa-desa yang tetap.
Bercocok tanam di ladang merupakan suatu mata pencarian yang dapat juga menjadi dasar suatu peradaban yang kompleks dengan masyarakat perkotaan, sistem kenegaraan, dan seni bangunan serta pertukangan yang tinggi. Contoh dari suatu peradaban yang serupa itu adalah peradaban Indian Maya dalam abad ke-15 di Meksiko Selatan, Yukatan, dan Guatemala di Amerika Tengah. 
Kebudayaan nelayan yang hidup dalam fishing communities ada di seluruh dunia: di sepanjang pantai, baik dari negara-negara yang berada di pinggir benua-benua, maupun di pulau-pulau. Secara khusus desa-desa nelayan itu biasnya terletak di daerah muara-muara sungai atau di sekitar sebuah teluk. Lokasi di muara sungai memudahkan para nelayan untuk melabuhkan perahu atau biduk yang mereka pakai untuk ke luar menuju laut.
Kebudayaan petani pedesaan, yang hidup dalam peasant communities pada masa sekarang merupakan bagian terbesar dari objek perhatian para ahli antropologi, karena suatu prporsi terbesar dari penduduk dunia masa kini memang masih merupakan petani yang hidup dalam komunitas-komunitas desa, yang berdasarkan pertanian, khusus nya bercocok tanam menetap secara tradisional dengan irigasi.
Kebudayaan perkotaan yang kompleks telah menjadi objek perhatian para ahli antropologi, terutama sesudah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul banyak negara baru bekas jajahan, dengan penduduk yang biasanya terdiri dari banyak suku bangsa, golongan bahasa, atau golongan agama, dalam wadah satu negara nasional yang merdeka. Maslah-masalah yang berhubungan dengan gejala tersebut dan juga beberapa masalah yang menjadi pokok perhatian antropologi spesialis, sebagian besar juga timbul di kota-kota, menyebabkan ada perhatian luas dari para ahli antropologi terhadap masyarakat kota, dan timbulnya subilmu antropologi spesialis yang disebut “antropologi perkotaan” (urban antropology)



B.     Konsep Daerah Kebudayaan

Suatu “daerah kebudayaan” (culture area) merupakan suatu penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang beragam kebudayaannya, tetapi mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Saran-saran pertama untuk perkembangan sistem cultre area berasal dari seorang pendekar ilmu antropologi di Amerika, F. Boas, walaupun para pengarang dari abad ke-19 tentang kebudayaan dan masyarakat suku-suku bangsa Indian pribumi Benua Amerika telah mempergunakan sistem klasifikasi berdasarkan dearah-daerah geografi di Benua Amerika yang menunjukkan banyak persamaan dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara yang kita kenal sekarang.
Penggolongan beberapa kebudayaan dalam suatu daerah kebudayaan dilakukan berdasarkan atas persamaan ciri-ciri yang mencolok. Ciri-ciri tersebut tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik (misalnya alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transportasi, senjata, bentuk-bentuk tempat kediaman dan sebagainya), tetapi juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya (misalnya unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, sistem perekonomian, upacara-upacara, unsur cara berpikir, dan adat-istiadat.

C.     Daerah-daerah Kebudayaan di Amerika Utara

Kesembilan daerah kebudayaan di Amerika Utara menurut klasifikasi Clark Wissler adalah:
1.      Daerah kebudayaan Eskimo, meliputi kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa pemburu binatang laut, di pantai utara dan barat laut Kanada, serta pantai pulau-pulau yang berhadapan dengan Pantai Kanada (seperti Bafinland dan Greenland). Contoh suku bangsa dari daerah ini adalah: Eskimo Nunivakmiut di Alaska, Eskimo Iglulik di pantai-pantai bagian utara dan Teluk Hudson, dan Eskimo Angmasalik di pantai tenggara Pulau Greenland.
2.      Daerah kebudayaan Yukon-Mackenzie, meliputi kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa pemburu binatang hutan Koniferus di Kanada, barat laut (seperti beruang atau binatang-binatang berburu yang lebih kecil), dan penangkapan ikan di Sungai Yukon dan Mackenzie, serta anak-anak sungainya.
3.      Daerah kebudayaan pantai barat laut, meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermsyarakat rumpun yang tinggal di desa-desa tepi pantai barat laut Kanada, atau di tepi pulau-pulau yang berhadapan dengan Pantai Kanada. Contoh-contoh suku bangsa dari daerah ini misalnya Tlingit, Haida, dan Kwakiut.
4.      Daerah kebudayaan dataran tinggi, meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang hidup di desa-desa dalam rumah-rumah setengah di bawah tanah dalam musim dingin (semisubterranean winter dwellings) dan rumah-rumah jerami untuk musim panas. Contoh suku-suku bangsa dari daerah ini adalah: Kutenai, Kiamat, dan Yurok.
5.      Daerah kebudayaan Plains, yang meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang sampai kira-kira akhir abad ke-19 tersebar di daerah stepa-stepa mahaluas, yaitu di daerah prairie atau plains di antara sungai besar Mississipi dan deret Pegunungan Rocky, yang hidup dari berburu binatang banteng bison dengan kuda (yang pemakaiannya mereka pelajari dari orang Spanyol). Contoh suku bngsa dari daerah ini misalnya: Crow, Omaha, dan Comanche.
6.      Daerah kebudayaan hutan timur, meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang tersebar di daerah-daerah sekitar bagian timur laut, dan hidup sebagai petani menetap dengan jagung sebagai tanaman pokok. Contoh suku bangsa dari daerah ini misalnya: Winnebago, Huron, dan Iroquois.
7.      Daerah kebudayaan Dataran California (California Great Basin), meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang hidup dari berburu dan mengumpulkan biji-bijian. Contoh suku bangsa dari daerah ini adalah misalnya: Miwok, Washo, dan Ute.
8.      Daerah kebudayaan barat daya, meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun, yang tersebar di daerah gurun dan setengah gurun, dan yang hidup dari pertanian intensif di lembah-lembah sungai. Contoh dari suku-suku bangsa daerah ini adalah: Apache, Navaho, Zuni Pueblo, Hopi Pueblo, dan Santa Clara Pueblo.
9.      Daerah kebudayaan tenggara, meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup dari bercocok tanam intensif dengan cangkul. Menanam jagung, labu-labuan, dan tembakau sebagai tanaman pokok. Contoh dari suku-suku bangsa dari daerah ini adalah: Cherokee, Seminole, dan Choctow.
10.  Daearah kebudayaan Meksiko, meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat perdesaan yang berorientasi terhadap suatu peradaban kota yang banyak terpengaruh oleh kebudayaan Spanyol dan agama Katolik. 

D.   Daerah-daerah Kebudayaan di Amerika Latin 

1.      Sistem Penggolongan Daerah-daerah Kebudayaan di Amerika Latin

Benua Amerika Selatan dan Amerika Tengah pertama-tama dibagi ke dalam daerah-daerah kebudayaan Amerika Latin oleh J.M. Cooper. Sistem itu membedakan adanya empat tipe kebudayaan di Amerika Latin, yaitu:(1) Circum Caribbean Cultures; (2) Andean Civilization; (3) Tropical Forest Cultures; (4) dan Marginal Cultures. Dalam buku J.M. Steward dan L.C. Faron berjudul Native Peoples of South Amerika (1959) yang merupakan suatu ikhtisar dari seluruh bahan yang tercantum dalam Handbook of the South Amerika Indians, pada dasarnya masih dipakai juga system klasifikasi Cooper, tetapi dengan beberapa perbaikan menjadi lima tipe, yaitu: (1) Cultures with Theocratic and Militaristic Chiefdoms; (2) Andean Cultures; (3) Southern Andean Cultures; (4) Tropical Forest Cultures; dan (5) Cultures of Nomadic Hunters and Gatheres

2.      Daerah-daerah Kebudayaan di Amerika Latin

a.         Daerah kebudayaan Cacique meliputi kebudayaan-kebudayaan yang dulu maupun sekarang tersebar di Kepulauan Karibia, di negara-negara Venezuela dan Columbia bagian utara, di Equador dan Bolivia bagian timur.
b.        Daerah kebudayaan Andes meliputi daerah dari kebudayaan zaman Pre-Inca, zaman kejayaan negara Inca di Pegunungan Andes, dan suku-suku bangsa rakyat Indian dalam zaman setelah runtuhnyanegara Inca di negara Peru dan Bolivia bagian barat. Contoh suku bangsa, yaitu Campa dan Inca.
c.         Daerah kebudayaan Andes Selatan meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup di bagian utara negara Chili dan Argentina, yang tidak pernah mengembangkan system organisasi sosial yang luas berupa sistem-sistem federasi desa-desa atau negara-negara kecil, tetapi dalam kebudayaan kebendaannya dan teknologinya banyak terpengaruh oleh peradaban Andes. Contoh suku-suku bangsa yaitu, Atacama, Diaguita, dan Araucania.
d.        Daerah kebudayaan rimba tropis meliputi kebudayaan suku-suku bangsa di perairan Sungai Amazon dan anak-anak sungainya, serta di bagian besar dari negara Brazil.
e.         Daerah kebudayaan berburu dan meramu adalah daerah yang dulu oleh Cooper disebut Marginal Culture Area, dan meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang tidak mengenal bercocok tanam.

E.   Sub-subkawasan Geografi di Oseania

Kebudayaan-kebudayaan dari penduduk kepulauan di Lautan Teduh dalam keseluruhan belum pernah dibagi ke dalam culture areas oleh para ahli antropologi, dan memang lebih mudah untuk menggolong-golongkan beragam kebudayaan yang tersebar di beratus-ratus kepulauan di kawasan itu menurut empat subkawasan geografis, yaitu: kebudayaan-kebudayaan penduduk asli Australia, kebudayaan-kebudayaan penduduk Mikronesia, dan kebudayaan-kebudayaan penduduk Polinesia.
Penduduk pribumi Australia mempunyai ciri-ciri ras yang sangat khas, yang di dalam antropologi-fisik disebut kompleks ciri Australoid. Penduduk Melanesia (termasuk Irian) menunjukkan ciri-ciri ras Melanesoid. Penduduk Mikronesia pada umumnya menggunakan bahasa-bahasa yang sekeluarga dan menunjukkan suatu pengkhususan mengenai sistem mata pencarian dan kemasyarakatannya, sebagai penduduk pulau-pulau atoll yang kecil dan sempit, hidup dari berkebun kecil-kecilan dan perikanan secara luas. Penduduk Polinesia dipandang dari sudut ras menunjukkan ciri-ciri fisik yang khas juga, yaitu ciri-ciri Polinesian, yang oleh para ahli antropologi-fisik sebenarnya belum banyak di teliti dan dianalisis. Bahasa-bahasa Polinesia yang sudah banyak diteliti oleh para ahli bahasa sudah jelas merupakan keluarga bahasa.

F.    Daerah-daerah Kebudayaan di Afrika

Ragam kebudayaan suku-suku bangsa penduduk Afrika (kecuali Madagaskar) untuk pertama kali diklasifikasikan ke dalam sebelas daerah kebudayaan oleh ahli antropologi bahasa Amerika, M.J. Herskovits. Tahun 1955 telah terbit klasifikasi dari bahasa-bahasa di Afrika ke dalam rumpun-rumpun dan keluarga-keluarga bahasa oleh para ahli linguistik bangsa Amerika, antara lain J.H Greenbarg. Berbeda dengan di Inddonesia klasifikasi bahasa-bahasa di Afrika tidak dapat dipakai untuk suatu klasifikasi kebudayaan.
Oleh karena sistem klasifikasi Herskovits terlampau kasar sifatnya, sedangkan klasifikasi Murdock kurang memberi gambaran menyeluruh, maka penulis telah mencoba mengombinasikan kedua sistem tersebut sehingga terjadi suatu sistem yang membagi Afrika dan Madagaskar ke dalam 18 daerah kebudayaaan. Berikut ini kedelapan belas daerah kebudayaaan dari kedua daerah geografi tersebut akan diuraikan sifat-sifatnya secara singkat satu demi satu, yaitu:

1.        Daerah kebudayaan Afrika Utara. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang sepanjang sejarah telah mengalamai nasib yang lebih-kurang sama, sehingga walaupun asalnya beraneka warga, tetapi pada ciri-ciri lahirnya tampak suatu keseragaman yang besar.
2.        Daerah kebudyaan Hilir Nil. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa petani pedesaan yang intensif di suatu daerah lembah-lembah sungai yang subur, menggunakan irigasi dan bajak.
3.        Daerah kebudayaan Sahara. Daerah geografi ini meliputi kebudayaan suku bangsa yang hidup menetap dalam masyarakat rumput dari bercocok tanam dan beternak, atau yang hidup mengembara dari peternakan saja di daerah-daerah sumber air (oasis) dan di daerah-daerah di mana air tanah belum terlampau dalam sehingga masih dapat diambil dengan menggali sumur.
4.        Daerah kebudayaan Sudab Barat. Derah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa Negroid yang hidup dari bercocok tanam berpindah-pindah di ladang tanpa irigasi dan bajak (tetapi dengan cangkul). Sebagai mata pencarian lain mereka beternak sapi, tetapi tidak untuk diambil susu atau dagingnya, hanya sekedar untuk gengsi, misalnya untuk mas kawin.
5.        Daerah kebudayaan Sudan Timur. Daerah ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa petani pedesaan yang hidup dari bercocok tanam menetap dengan irigasi. Tanaman pokonya gandum Sudan (suku-suku bangsa di bagian selatan dari daerah ini, menanam tanaman Asia Tenggara seperti keladi, ubi jalar, dan pisang sebagai tanaman pokok).


6.        Daerah kebudayaan Hulu Tengah Nil. Daerah ini, yang oleh Murdock disebut daerah Nile Corridor, bukan suatu daerah kebudayaan, melainkan suatu daerah geografi yang sejak berabad-abad lamanya menjadi semacam jalur lalu lintas dari berbagai pengaruh kebudayaan pedalaman Afrika.
7.        Daerah kebudayaan Afrika Tengah. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa Negroid merupakan masyarakat rumpun dan hidup dari bercocok tanam berpindah-pindah di ladang tanpa menggunakan irigasi maupun bajak.
8.        Daerah kebudayaan Hulu Selatan Nil. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan bermasyarakat rumpun yang berdasarkan peternakan menetap (tidak mengembara) di daerah-daerah sabana di Sudan Selatan.
9.        Daerah kebudayaan Tanduk Afrika. Daerah kebudayaan ini meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat pedesaan yang hidup dari peternakandan bercocok tanam intensif dengan irigasi dan bajak di lembah-lembah sungai dataran tinggi Ethiopia.
10.    Daerah kebudayaan Pantai Guinea. Daerah kebudayaan ini meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat petani pedesaan dengan ciri-ciri ras Negroid.
11.    Daerah kebudayaan “Bantu” khatulistiwa. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang hidup dari peladangan berpindah-pindah di hutan rimba tropis, tanpa irigasi dan bajak. Tanaman pokoknya adalah keladi, ubi jalar, dan pisang (tanaman Asia Tenggara), walaupun mereka juga mennam gandum Sudan sebagai tanaman tambahan.
12.    Daerah kebudayaan “Bantu” Danau-danau. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat petani pedesaan yang hidup dari pertanian intensif menetap dengan irigasi di lereng-lereng pegunungan yang dikelilingi oleh danau-danau besar, seprti Danau Victoria, Kioga, Albert, Edward, Kivu, dan Tanganyika.
13.    Daerah kebudayaan “Bantu” Timur. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun. Mata pencarian tambahan yang penting adalah peternakan sapi yang diperah susunya untuk membuat mentega dan keju.
14.    Daerah kebudayaan “Bantu” Tengah. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang sebagian besar bermasyarakat rumpun dan hidup dari peladangan berpindah di hutan atau di daerah sabana. 
15.    Daerah kebudayaan “Bantu” Barat Daya. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang berdasarkan mayarakat rumpun dan hidup dari peladangan berpindah,tanpa irigasi maupun bajak. Suatu ciri mencolok adalah pemeliharaan sapi keramat, suatu pasangan sapi dengan anak-anak sapinya yang beralih turn temurun secara patrilineal.
16.    Daerah kebudayaan “Bantu” Tenggara. Daerah ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang dibagian utara berdsarkan rumpun, tetapi di bagian selatan (Natal, Basutoland) berdasarkan masyarakat petani pedesaan yang berorientasi pada kebudayaan kerajaan-kerajaan peternak seperti Kerjaan Zulu, Lovedu, dan Bavenda.
17.    Daerah kebudayaan Choisan. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup mengembara dari memburu dan meramu (Bushmen), tetapi ada pula yang hidup dari peternakan (Hottentot).
18.    Daerah kebudayaanMadagaskar. Derah kebudayaan ini meliputi kebuayaan suku bangsa bermasyarakat rumpun di daerah pantai Timur hidup dari peladangan berpindah tanpa irigasi dan bajak.

 G.  Daerah-daerah Kebudayaan di Asia

A.L. Kroeber membagi Benua Asia ke dalam daearh-daerah kebudayaan. Pembagian itu sebenarnya masih bersifat kasar sekali dan lebih berdasarkan common sense daripada analisis dan pebandingan unsur-unsur kebudayaan secara mendalam dan meluas. Dalam bab ini penulis membagi kawasan Asia menurut bembagian Kroeber dengan beberapa perubahan, ke dalam tujuh bagian, yaitu:

1.      Daerah kebudayaan Asia Tenggara.
2.      Daerah kebudayaan Asia Selatan
3.      Daerah kebudayaan Asia Barat Daya
4.      Daerah kebudayaan Cina
5.      Daerah kebudayaan Stepa Asia Tengah
6.      Daerah kebudayaan Siberia
7.      Daerah kebudayaan Asia Timur Laut

 H.  Suku-suku Bangsa di Indonesia

Seorang ahli antropologi biasanya selain memilih suatu kejuruan mengenai satu subilmu dalam antropologi (ahli paleoantropologi, ahli antropologi fisik, ahli etnologi, ahli antropologi-sosial dan sebagainya), juga memilih suatu kejuruan mengenai suatu daerah di muka bumi (ahli Asia Barat Daya, ahli Amerika Utara, ahli Amerika Latin, ahli Oseania, ahli Asia Tenggara dan sebagainya.

I.       Ras, Bahasa,dan Kebudayaan

Sejumlah manusia yang memiliki ciri-ciri ras tertentu yang sama, belum tentu juga mempunyai bahasa induk yang termasuk satu rumpun bahasa, apalagi mempunyai satu kebudayaan yang tergolong satu daerah kebudayaan.
Ada sejumlah manusia yang memiliki ciri ras berbeda-beda, tetapi mempergunakan beberapa bahasa induk yang berasal dari satu keluarga bahasa, sedangkan kebudayaan mereka memang juga berbeda-beda, misalnya orang Huwa di daerah pegunungan di Madagaskar, orang jawa, dan orang Irian dari daerah pantai utara Irian Jaya.
 Dalam zaman sekarang ini, komunikasi antara manusia dan mobilitas manusia di seluruh penjuru muka bumi kita ini makin meluas, maka pembauran antara manusia dari beragam ras, beragam bahasa, dan beragan kebudayaan, juga menjadi makin intensif.